Saya mencoba menuliskan kisah kehidupan Dewi Kwan Im berdasarkan
informasi yang pernah saya dapat baik dari Internet maupun cerita2
orang-orang tua dulu. Bila ada kesalahan mohon di koreksi.
Jauh sebelum masuknya agama Buddha
menjelang akhir Dinasti Han, Kwan Im Pho Sat telah dikenal di Tiongkok
purba dengan sebutan Pek Ie Tai Su yaitu Dewi Welas Asih Berbaju Putih.
Dikemudian hari, beliau identik dengan perwujudan dari Buddha
Avalokitesvara. Secara absolut, pengertian Avalokitesvara Boddhisatva
dalam bahasa Sansekerta adalah : Valokita (Kwan / Guan / Kwan Si /
Guan Shi) yang bermakna “Melihat ke bawah atau Mendengarkan ke bawah”.
Bawah di sini bermakna ke dunia, yang merupakan suatu alam (lokita).
Svara (Im / Yin) berarti suara. Yang dimaksud adalah suara dari
makhluk-makhluk yang menjerit atas penderitaan yang dialaminya. Oleh
sebab itu Kwan Im adalah Bodhisatva yang melambangkan kewelas-asihan
dan penyayang. Di negara Jepang, Kwan Im Pho Sat lebih dikenal dengan
nama Dewi Kanon.
Bila sudah mencapai taraf Buddha sudah
tidak lagi terikat dengan bentuk apalagi gender, karena pada dasarnya
roh itu tidak mempunyai bentuk fisik dan gender. Menurut cerita, Dewi
Kwan Im adalah titisan Dewa Che Hang yang ber-reinkarnasi ke bumi untuk
menolong manusia keluar dari penderitaan, karena beliau melihat begitu
kacaunya keadaan manusia saat itu dan penderitaan di mana-mana. Dewa
Che Hang memilih wujud sebagai wanita, agar lebih leluasa untuk
menolong kaum wanita yang membutuhkan pertolonganNya. Disamping itu
agar lebih bisa meresapi penderitaan manusia bila dalam bentuk wanita
karena di jaman itu wanita yang lebih banyak menderita dan kurang
leluasa dalam membuat keputusan. Dalam perwujudannya sebagai pria,
Beliau disebut Kwan Sie Im Pho Sat. Dalam Sutra Suddharma Pundarika
Sutra (Biau Hoat Lien Hoa Keng) disebutkan ada 33 penjelmaan Kwan Im
Pho Sat. Sedangkan dalam Maha Karuna Dharani (Ta Pei Cou / Ta Pei Shen
Cou) ada 84 perwujudan Dewi Kwan Im sebagai simbol dari Bodhisatva yang
mempunyai kekuasaan besar. Altar utama di Kuil Pho To San
dipersembahkan kepada Kwan Im Pho Sat dengan perwujudan sebagai Budha
Vairocana, dan di sisi kiri atau kanan berjajar 16 perwujudan lainnya.
Perwujudan Beliau di altar utama Kim Tek Ie (salah satu Kelenteng
tertua di Indonesia adalah King Cee Kwan Im (Kwan Im Membawa Sutra
Memberi Pelajaran Buddha Dharma kepada umat manusia). Disamping itu
terdapat pula wujud Kwan Im Pho Sat dalam Qian Shou Guan Yin (Kwan Im
Seribu Tangan) sebagai perwujudan Beliau yang selalu bersedia
mengabulkan permohonan perlindungan yang tulus dari umatNya. Julukan
Beliau secara lengkap adalah Tay Cu Tay Pi – Kiu Kho Kiu Lan – Kong Tay
Ling Kam – Kwan Im Sie Im Pho Sat.
Dalam kepercayaan Buddhisme yang
berkembang pesat di China, diyakini bahwa segala permohonan yang
berangkat dari ketulusan dan niat suci, maka biasanya Dewi Kwan Im akan
mengabulkan permintaan tersebut. Terutama pada saat-saat genting dimana
seseorang tengah berhadapan dengan bahaya. Sehingga dalam kurun ribuan
tahun, pengabdian moral dari Dewi Kwan Im dikenal galib berporos empat
jalan kebenaran. Yakni, pengembangan kebajikan, pengembangan toleransi
dan saling hormat menghormati, pengendalian batin dan mawas diri, serta
menghindarkan dari marabahaya.
Menurut Kitab Suci Kwan Im Tek Too yang
disusun oleh Chiang Cuen, Dewi Kwan Im dilahirkan pada jaman Kerajaan
Ciu / Cian Kok pada tahun 403-221 Sebelum Masehi. Terkait dengan
legenda puteri Miao Shan, anak dari Raja Miao Zhuang / Biao Cong / Biao
Cuang penguasa negeri Xing Lin (Hin Lim), kira-kira pada akhir Dinasti
Zhou di abad III SM. Raja Miao Zhuang sangat mendambakan seorang anak
lelaki, tetapi yang dimilikinya hanyalah 3 orang puteri. Puteri tertua
bernama Miao Shu, yang kedua bernama Miao Yin, dan yang bungsu bernama
Miao Shan.
Miao Shu dan Miao Yin lebih cenderung
dimanja oleh fasilitas istana dan berfoya-foya. Sementara Miao Shan
dengan rajin menjaga dan merawat kedua orang tua mereka. Dari ketiga
putri sang Raja, putri ketiga lah yang sangat berbakti kepada kedua
orangtua serta leluhurnya. Ia juga memperlihatkan sifat welas asih
kepada semua makhluk. Itu sebabnya ia sudah vegetarian sejak balita.
Dikisahkah saat bayi bila Miao Shan mendengar kata “bunuh” akan
menangis sekeras-kerasnya dan tidak mau bila diberi makan daging saat
balita. Toleransinya kepada dayang-dayang istana sangat besar sehingga
ia disayangi oleh semua pihak. Ia selalu mengaplikasikan bentuk-bentuk
kebajikan Buddhisme yang ia pelajari dan dalami ke dalam hidup
sehari-harinya.
Hal tersebut menimbulkan iri hati dan
benci dari kedua kakak perempuannya, sehingga dengan intrik dan hasutan
jahat bekerjasama dengan seorang peramal tua yang jahat akhirnya Miao
Shan diusir dari istana. Miao Shan dituduh titisan dari iblis jahat
sehingga negeri mereka yang dulunya makmur sekarang selalu dirundung
bencana. Padahal bencana dan masalah datang karena banyak pejabat
istana termasuk si peramal tua jahat itu terlibat korupsi besar2an,
bahkan si peramal tua berambisi mengambil tahta Sang Raja. Kelompok
jahat itu mengklaim sejak Miao Shan lahir bencana susul menyusul tiada
henti. Kalau bukan kekeringan, pasti kebanjiran. Kalau bukan kelaparan
pasti wabah penyakit. Sehingga Miao Shan dianggap jelmaan iblis yang
dikutuk oleh langit.
Dalam pengembaraannya Miao Shan
mengabdikan diri sebagai samaneri (calon biksu perempuan). Tahun
berganti tahun, akhirnya Sang Raja, ayahanda Miao Shan menjadi
sakit-sakitan karena merasa rindu pada putri bungsunya tersebut. Sampai
akhirnya sang Raja menderita penyakit aneh yang sekujur tubuhnya
ditumbuhi bisul dan borok tak tersembuhkan. Disinyalir ada hubungannya
dengan ilmu iblis yang dipelajari oleh peramal tua yang mengincar
tahtanya. Bahkan Raja menjadi buta dan permaisuri menjadi kelainan jiwa
akibat merindukan putri bungsu mereka.
Miao Shan yang merasa iba, berkat
kesaktiannya, mengubah dirinya menjadi seorang bikkhuni. Ia mendatangi
istana, dan menjenguk ayahandanya yang terkapar sakit dengan dalih
sebagai tabib. Setelah Miao Shan membacakan parita, ayah ibunya itu
merasakan damai yang tiada tara sehingga mereka tertidur dengan damai.
Namun dalam penyamarannya itu bukannya mengobati ia malah memberi
petunjuk bahwa Sang Raja menderita penyakit aneh, dan hanya dapat
sembuh jika mengkonsumsi sekerat daging manusia dan sebiji bola mata
yang berasal dari tubuh putri kandungnya. Tentu saja ayah ibunya tidak
mendengar hal ini karena sudah tertidur, kalau mendengar mungkin mereka
tidak berkenan menjalankan pengobatan. Dihadapan ibu suri dan kedua
kakaknya, Miao Shan membeberkan cara pengobatan aneh itu. Di saat
meminta kedua kakak perempuannya untuk berkorban diiris otot lengan dan
dicungkil sebelah bola matanya untuk dicampur pada obat bagi ayah
mereka, saat itu juga keduanya berlutut di samping ranjang ayahanda
mereka, menangis tersedu-sedu.
“Oh, Ayahanda, kasihanilah saya Miao
Shu. Saya masih memiliki anak yang masih kecil-kecil dan mereka masih
membutuhkan saya untuk membesarkan mereka.”
Tak lama berselang, Miao Yin menyusul
dengan kalimat bernada serupa. Kali ini tangisnya lebih deras.
Tiba-tiba Miao Shan menengahi, dengan bijak ia berkata.”Kalau begitu
biarkan daging dan bola mata saya saja yang dikorbankan untuk
kesembuhan Baginda.” Saat itu kedua kakaknya belum menyadari yang
dihadapan mereka adalah adik bungsunya Miao Shan, oleh karena
dandanannya yang sederhana sebagai biksuni dan juga karena sekian tahun
lamanya mengembara di luar.
Setelah mengiris sekerat otot lengan
dan mencongkel bola matanya sendiri dengan belati tanpa rasa takut,
dengan tenang serta penuh keikhlasan ia memberikan bagian-bagian
tubuhnya itu untuk campuran ramuan obat untuk ayah ibunya. Saat
mengaduk-aduk ramuan obat itu, terjadi keajaiban. Ramuan obat itu
memancarkan harum wangi dupa dan memenuhi seluruh penjuru istana. Raja
Miao Zhuang setelah meminum “obat mujarab” tersebut sembuh seketika dan
matanya dapat melihat kembali. Atas jasanya, Raja menanyakan apa yang
diinginkan oleh Miao Shan yang masih belum dikenali oleh mereka. “Hamba
tidak menginginkan bayaran apapun, hamba hanya berbuat baik untuk
menyebarkan dharma dan ajaran sang Buddha.” Demikian kata Miao Shan.
“Minimal apa ada permintaan biksuni agar kami tidak merasa terlalu sungkan karena tidak memberikan apa-apa.” Kata Sang Raja.
Terdiam sejenak, kemudian Miao Shan
melanjutkan. “Hamba sudah lama kehilangan ayah dan ibu, bolehkan hamba
memeluk Baginda dan Permaisuri sehingga kerinduan akan ayah-ibu bisa
terobati?”
“Ha? Sesederhana itu? Kenapa tidak boleh… silahkan.” Sahut sang Raja.
Miao Shan menunduk dan menghampiri ayah
bundanya itu, setelah bersujud di pelukan Raja ia kemudian berpindah ke
pelukan permaisuri dengan airmata berlinang dan suara isak tangis.
“Ibu, maafkan anak yang tidak berbakti” demikian Miao Shan berbisik.
Karena jarak dekat, permaisuri baru menyadari kalau itu adalah putri
bungsunya yang telah diusir dari istana akibat konspirasi pejabat yang
tidak setia. Raja yang kaget dan senang bukan kepalang memeluk tubuh
putri bungsunya itu dengan airmata berlinang.
Sejak itulah kebajikan dan keluhuran
budi Miao Shan menjadi legenda di tanah Tiongkok. Ia menggugah
ketulusan tanpa pamrih, pengorbanan tanpa batas, sifat welas asih yang
tiada tara, dan masih banyak lagi kemuliaan yang tidak dapat disebutkan
satu per satu. Setelah peristiwa fenomenal tersebut, Miao Shan tetap
bertekad melanjutkan pertapaannya dengan menjadi biksuni sepanjang
hidup dan pengabdiannya. Meski berat hati, tapi Raja Miao Zhung dan
permaisurinya merelakan putri bungsunya tersebut, memaklumi niatnya
untuk mengabdi bagi kemanusiaan.
Untuk mengenang putri bungsunya
tersebut, Raja Miao Zhung memerintahkan pekerja seni rupa terbaik di
negerinya membuat patung berwujud putri Miao Shan dan mendirikan vihara
Dewi Kwan Im pertama di Pho To San
“Putri saya, Miao Shan, ibarat memiliki
seribu tangan untuk membantu sesama dengan tulus serta ikhlas, dan
seribu mata yang peka melihat penderitaan rakyat jelata!” demikian kata
Raja Miao Zhuang dalam nada bangga, yang ternyata salah ditanggapi oleh
para pemahat arca istana. Arca rampung dengan memiliki simbolisasi
seribu tangan dan seribu mata. Itulah awal ihwal Miao Shan yang
melegenda menjadi Qian Shou Guan Yin (Dewi Kwan Im Seribu Tangan).
Dikisahkan ketika Miao Shan berhasil
mencapai pencerahan menjadi Buddha, saat hendak memasuki gerbang
Nirwana ia mendengar banyak tangisan penderitaan dari alam manusia di
bawah. Ia kemudian membatalkan memasuki Nirwana dan memilih berada di
alam manusia untuk membantu setiap makhluk hidup. Ia senantiasa
menyingkirkan segala macam penderitaan dan menumbuhkan kebahagiaan
dengan mewujudkan permintaan kesejahteraan kaum papa.
Turun temurun masyarakat Tionghoa
sangat menghormati Dewi Kwan Im. Hampir di setiap rumah penganut
Konfusiunisme dan klenteng-klenteng pasti memiliki rupam atau diorama puja untuk mengenang jasa dan kebaikanNya.
0 comments :
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !